Aluk Todolo, Ritual Mayat Berjalan Dari Mamasa Toradja Barat

Jenazah seorang perempuan (berbaju biru) oleh keluarganya dilakukan untuk berjalan sendiri menuju makamnya, dengan menggunakan mantra tertentu.

Sebuah ritual yang sangat penuh dengan misteri yang dimiliki oleh masyarakat Toraja (Barat) mengenai upacara penguburan yakni Mayat Berjalan. “Cerita mayat berjalan sudah ada sejak dahulu kala. Ratusan tahun yang lalu konon terjadi perang saudara di Tana toraja yakni orang Toraja Barat berperang melawan orang Toraja Timur. Dalam peperangan tersebut orang Toraja Barat kalah telak karena sebagian besar dari mereka tewas, tetapi pada saat akan pulang ke kampung mereka seluruh mayat orang Toraja Barat berjalan, sedangkan orang Toraja Timur walaupun hanya sedikit yang tewas tetapi mereka menggotong mayat saudara mereka yang mati, karena kejadian tersebut maka peperangan tersebut dianggap seri.

Tiga puluh tahun silam. Zona Mamasa -asal kata; Mammesa; Bersatu- sangat terisolir, medan sangat berat dan tiada kendaraan yang bisa melewati area pegunungan dan sungai-sungai ini kecuali kuda. Medan berat dan kondisi jalanan serta hutan virgin membuat mobilitas penduduk terbatas. Ritual pembangkitan mayat di daerah yang mayoritas penduduknya bertani (tadah hujan) ini, memang pernah ada. Itupun tak sembarangan ‘kasusnya’.
Seorang warga yang meninggal di perjalanan disebabkan penyakit tertentu, sedang warga sekitar tak mengetahui alamat rumah sang jenazah, maka dilakukan ritual pembangkitan jenazah dan bermaksud untuk ‘menolong’ sang jenazah pulang sendiri ke rumahnya. Tak mudah melakukannnya, ini kinerja para ilmuwan black magic kelas tinggi.
Penggunaan magic dan mantra-mantra sudah tidak digandrungi masyarakat di Mamasa. Seiring pembangunan Mamasa, jalan-jalan sebagian besar sudah beraspal. Komunakasipun relatif lancar dengan berdirinya tower-tower provider layanan komunikasi.
Pada keturunan selanjutnya orang-orang Toraja sering menguburkan mayatnya dengan cara mayat tersebut berjalan sendiri ke liang kuburnya.” Yang bisa membuat mayat berjalan hanya orang-orang tertentu saja dan bukanlah orang sembarangan. Mayat bisanya dituntun ke kuburannya, namun sebelum dilaksanakannya prosesi ini, ada beberapa dari anggota keluarga wajib memberitahukan kepada masyarakat setempat bahwa akan ada mayat yang akan lewat dan orang- orang dilarang menyapa mayat yang akan lewat tersebut, karena saat mayat disapa maka mayat tersebut akan jatuh dengan sendirinya. Mayat tidak akan berjalan sendiri, namun akan ditemani oleh rombongan dan para wanita akan ikut dari belakang dengan membawa kain merah pada kepala mereka. Namun saat ini, sudah semakin jarang orang-orang yang melakukan ritual (mayat berjalan) ini.
Mamasa Suku Toraja
Mamasa berbatasan langsung dengan Toraja, dua etnik serupa tapi tak sama. Toraja mayoritas Nasrani, Mamasa separuh Islam, separuh Nasrani. Di Toraja sendiri masih punya “agama” lain yang disebut Aluk To Dolok (agama leluhur etnik Toraja). Toraja sendiri diartikan sebagai orang yang mulia, etnik Bugis meyakininya bahwa asal kata Toraja berasal dari dua suku kata: To=Orang, Raja (Riaja): Di Atas. Etnik Bugis-Makassar-Mandar sering mendeklarasikan: “Tidak sempurna kebangsawanan kita tanpa genetis Toraja dan Mamasa”. Ini sangat beralasan sebab Toraja adalah penduduk asli, sama aslinya dengan etnik Dayak, di Kalimantan.
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.[1] Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau “jalan” (kadang diterjemahkan sebagai “hukum”). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo’ Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo’ Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian.Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
Upacara pemakaman
http://newsartistop.blogspot.com/2014/03/ritual-setrika-payudara-di-afrika.html
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.[24] Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam “masa tertidur”. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar.Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
sumber: Foto Ywardhana S. Bulo (Ritual Kematian dan Kepercayaan Masyarakat Tana Toraja / Aluk Todolo)

Posting Komentar

notifikasi
close